Pada postingan ini saya ingin berbagi pengantar pada buku “DPR Uncensored” karya Dati Fatimah & Mail Sukribo (cetakan kedua, Januari 2009). Saya merasa tulisan ini menarik & menggelitik sehingga saya ingin membaginya pada orang lain supaya bisa ikut tertawa…
Dalam bahasa Latin “poli” artinya banyak dan “tics” artinya “serangga penghisap darah.” Mereka secara diam-diam bergentayangan di antara manusia untuk mencuri peluang, menggigit sekaligus menghisap darah setiap makhluk lain yang ada di sekitarnya, termasuk darah manusia. Mereka amat menyukai darah manusia karena kaya multivitamin, manis rasanya, sukar memproduksinya, dan memperpanjang usia. Dan, politisi, salah satu profesi tertua di dunia selain pelacur, tidak ubahnya seperti Pangeran Drakula yang rajin gentayangan setiap malam.
Namun, makna yang negatif ini tentu saja tidak sepenuhnya menggambarkan sosok politisi. Politisi sesungguhnya sebuah pekerjaan yang amat mulia karena bertujuan menyejahterakan kehidupan rakyat. Para politisilah yang mendirikan partai-partai politik, menentukan ideologi partai-partai itu, membuat serta menegakkan aturan partai, mengumpulkan sebanyak-banyaknya pendukung, memenangi pemilihan umum, dan bekerja keras untuk mengejar cita-cita masing-masing lewat berbagai lembaga, termasuk legislatif atau parlemen.
Parlemen merupakan perwakilan kehendak setiap kalangan masyarakat. Anggota parlemen yang terhormat dipilih oleh rakyat, bekerja untuk rakyat, dan bertanggung jawab kepada rakyat. Akan tetapi, demokrasi seringkali justru berhenti total ketika segenap aspirasi rakyat itu disalurkan lewat parlemen. Inilah salah satu ironi demokrasi yang telah diwacanakan sejak dahulu oleh filsuf Yunani, Socrates, atau Diktator Italia Benito Mussolini. Rakyat tidak bisa lagi berharap banyak kepada parlemen ketika politisi-politisi pilihannya sudah mengenakan baju kekuasaannya. Rakyat hanya membutuhkan waktu lima menit untuk mencoblos di Tempat Pemungutan Suara untuk memilih politisi pilihannya untuk masa kerja lima tahun.
Rakyat Indonesia untuk pertama kalinya memilih anggota-anggota parlemen dalam Pemilu 1955 ketika usia republik masih 10 tahun. Pemilu tersebut dikenang sebagai penyelenggaraan demokrasi yang diselenggarakan secara terbuka, jujur, dan adil. Namun, Bung Karno ingkar janji karena gagal menyelenggarakan pemilu ketika ia memberlakukan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pak Harto pun menunda pemilu demi alasan instabilitas politik setelah terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965. Pemilu 1971 sudah tidak lagi terselenggara dengan terbuka, jujur, dan adil karena dilakukannya kecurangan sistematis oleh rezim Orde Baru yang mengandalkan sokongan politik ABG (ABRI, Birokrasi, dan Golkar).
Setelah itu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 selalu berlangsung tidak demokratis karena diskenariokan untuk dimenangi oleh Golkar. DPR tak lebih dari sekadar stempel yang selama bertahun-tahun mengesahkan kekuasaan otoriter Presiden Soeharto tanpa pernah bersikap kritis. Para anggota DPR miskin gagasan dan hanya bisa memainkan emosi rakyat untuk tetap dianggap masih relevan menjalankan tugasnya. Mereka terperosok ke dalam isu-isu yang tidak substantif seperti sentimen kelompok etnis—dan tentunya juga fasilitas dan uang—hanya untuk meninabobokan rakyat. Mereka tidak cukup kreatif dan hanya sibuk dengan urusan-urusan yang tidak perlu untuk bertahan di DPR.
Masih segar dalam ingatan bagaimana DPR dianggap lebih lucu daripada kelompok lawak Srimulat pada 1970-an. Kebetulan Srimulat tampil di Taman Ria Remaja Senayan, persis di sebelah Kompleks MPR-DPR di Jalan Gatot Subroto. Rasa muak rakyat terhadap DPR ditumpahkan lewat guyon nasional yang mengatakan bahwa bisnis Srimulat disaingi karena lawakan orang-orang “gedung sebelah” ternyata lebih mengocok perut. Misalnya, Srimulat dinilai tidak akan mampu menciptakan singkatan “D4” yang artinya “datang, duduk, diam, dan duit.” Mereka membuat lambang yang ditempelkan di nomor polisi untuk menerobos aturan three-in-one dan, jika perlu, untuk menembus masuk ke lajur busway.
DPR yang membudayakan kultur masih berlangsung sampai era “Orde Reformasi” sekarang ini. Perilaku anggota DPR semakin seronok, misalnya terlibat skandal video mesum. Kini mereka rajin memungut “gratifikasi” dan keranjingan studi banding ke luar negeri. Kalau dulu anggota DPR dianggap sebagai pelawak-pelawak yang mengalahkan aksi Srimulat, kini bahkan sejumlah orang yang berprofesi sebagai pelawak bisa menjadi anggota-anggota DPR.
Saya amat menyukai cerita tentang sebuah bus rombongan anggota parlemen yang mengalami kecelakaan dengan menabrak pohon besar milik seorang petani. Semua korban tewas dan sang petani yang baik hati menguburkan semua politisi. Esok harinya polisi mengunjungi lokasi kecelakaan dan bertanya ke mana para politisi itu pergi? Si petani menjawab bahwa ia telah mengebumikan mereka semua. “Mereka tewas semua?” tanya polisi. “Ya! Tetapi, sebagian dari mereka sempat mengaku tidak mati. Seperti Anda tahu, mereka selalu berbohong,” jawab si petani.
Salah seorang pelawak andalan Srimulat, Gepeng, menyebut “pulitik” (maksudnya “politik”) sebagai akronim dari “ngumpul itik-itik”. Tidaklah mengherankan jika anggota-anggota DPR tidak ubahnya bebek-bebek yang senasib sepenanggungan karena selalu bersuara, berenang, dan berbaris bersama-sama sampai mati. Tetapi, cobalah Anda menabrak rombongan bebek yang sedang menyeberangi jalan. Mereka pasti langsung panik, membubarkan diri, dan segera kabur menyelamatkan diri masing-masing.
Ada ribuan buku yang meneropong demokrasi karya filsuf, pakar, aktivis, politisi, pejabat, sampai tukang ramal. Jumlah teori demokrasi bak jamur di musim hujan dan “mati satu tumbuh seribu.” Ada teori yang ilmiah, muskil, gaib, bahkan mengundang tawa. Nah, salah satu pendekatan yang diajarkan di Amerika Serikat ialah dengan mengamati langsung interaksi makhluk primata seperti kawanan simpanse, bekantan, dan kera. Dari pengamatan itu diukurlah perilaku politik politisi.
Ada juga brain science yang bertujuan memahami persepsi demokrasi dari berbagai jenis otak manusia. Atau ilmu DNA (deoyribonucleic acid) atau jaringan sel genetik yang berkembang dan berfungsi pada tiap organisme yang hidup. DNA terbentuk antara lain karena faktor musim dan makanan. Manusia yang berabad-abad hidup di gurun adalah pemakan daging yang kurang sayuran dan buah-buahan, malam kedinginan dan siang kepanasan. Tidak heran orang gurun suka terjangkit fatamorgana dan mudah tersulut konflik.
Bangsa-bangsa Barat dipaksa mematuhi setiap bentuk hukum atau aturan karena dihadang pergantian musim salju, semi, panas, dan gugur setiap tiga bulan. Saat salju turun mereka masuk ke dalam goa setelah menyetok makanan. Pada musim semi dan panas mereka berburu, lalu pada musim gugur siap-siap bersembunyi lagi menghindari siksaan alam. Itu sebabnya bangsa-bangsa Barat unggul di dunia teknologi yang serba “zero tolerance.”
Berbeda lagi hidup di negeri tropis yang amat nikmat karena alam dan makanannya sehat. Rasa nyaman di negeri tropis membuat bangsa negeri kepulauan ini menikmati hidup karena anginnya sepoi-sepoi, pantai-pantainya indah, buah-buahannya eksotis, sambalnya 1.001 macam, dan kekayaan alamnya melimpah ruah. Tidak heran bangsa ini mengenal konsep “gemah ripah loh jinawi”, “mangan ora mangan ngumpul”, atau “pela gendong”, misalnya. Bangsa ini gemar mengarang khayalan indah seperti Djoko Tingkir atau Si Malin Kundang.
Bangsa ini kaya pujangga, budayawan, musisi, sampai tukang ngamen. Hanya di sinilah ada predikat gaib seperti penikmat, penggiat, pemerhati, peminat, sampai “pendekar” demokrasi. Dan, sesungguhnya bangsa ini terlahir sebagai politisi. Dalam istilah Melayu, bangsa ini sanggup “berbual-bual” selama seharian sambil menyantap singkong dan menyeruput bandrek di warung kopi. Semua ideologi tak ditelan mentah-mentah, direvisi, diperkaya, dipermiskin, dimanipulasi, diintimidasi, dibunuh sampai mati, ditambah-tambahi, bahkan dikurang-kurangi.
Salah satu korban yang sering dizalimi adalah demokrasi dan akibatnya lahirlah teori baru penemuan bangsa ini, yakni “Demokrasi Asal Tampil Beda.” Dulu ada Demokrasi Terpimpin, tipu daya Bung Karno yang menolak Trias Politica demi melanggengkan kekuasaan. Pak Harto merekayasa Demokrasi Pancasila, ideologi yang bersifat universal dan mustahil diturunkan derajatnya menjadi sistem demokrasi semata-mata. Demokrasi liberal ala Barat mengenal dua jenis kabinet: parlementer dan presidensial, namun hanya di negeri ini ada jenis kelamin ketiga, yakni kabinet campuran parlementer-presidentil ala Kabinet Indonesia Bersatu.
Mengapa bangsa ini gandrung Demokrasi Asal Tampil Beda? Sebab kompatibilitas demokrasi tergantung dari perilaku bangsa yang mempraktikkannya. Perilaku bangsa itu belum tentu compatible dengan demokrasi karena Manusia Indonesia sebetulnya belum mau dan mampu menerima demokrasi. Kepurbakalaan itu disebabkan rasa enggan mematuhi aturan alias suka bertindak seenaknya—padahal praktik demokrasi tidak mudah, susah karena orang dipaksa antre, menghargai perbedaan pendapat, menghormati minoritas, atau melarang pemimpin yang bertelinga tipis.
Itulah demokrasi Indonesia yang mirip dengan keajaiban alam di Segi Tiga Bermuda. Banyak pesawat dan kapal laut yang melewati wilayah di segi tiga itu mengalami kecelakaan yang misterius. Pesawat, kapal, dan penumpang hilang entah ke mana. Ada yang bilang terseret pusaran air, ada yang yakin terisap ke langit, bahkan ada pula yang percaya itulah pekerjaan Tuhan. Hubungan segi tiga kekuasaan antara rakyat, presiden, dan DPR sering tidak jelas juntrungannya berkat Demokrasi Asal Tampil Beda. Itulah sebabnya hanya di negeri ini ada Gedung DPR yang digeledah karena dugaan korupsi.
Budiarto Shambazy
Artikel ini berasal dari majalah Mediakarya No. 54 bulan September 1988 yang masih relevan sampai saat ini. Bagi masyarakat pewayangan, Petruk Dadi Ratu merupakan sebuah . . .