Di masa-masa pandemi COVID-19 ini, kantorku menginstruksikan WFH (Work From Home). Aku hanya datang ke kantor apabila kebagian jadwal piket atau ada keperluan penting. Karena banyak waktu luang, aku jadi mempunyai hobi baru, yakni berburu dokumenter. Koran by Heart (2011) adalah film dokumenter yang saya tonton awal Ramadhan kemarin.
Film ini sangat membuka wawasan tentang dunia penghafal Al-Qur’an. Diceritakan bahwa setiap tahun pemerintah Mesir mengadakan lomba hafalan qur’an internasional. Peserta yang diundang berasal dari seluruh dunia dan berbagai usia.
Liputan dilakukan pada tiga orang penghafal cilik yang berasal dari Senegal, Maladewa dan Tajikistan. Ketiga bocah itu baru berusia 10 tahun. Bocah-bocah istimewa ini memiliki latar belakang yang unik. Film ini mengajak kita menyaksikan kegiatan mereka mulai dari persiapan keberangkatan, pada saat lomba, dan setelah lomba selesai.
Peserta dari Senegal adalah bocah laki-laki bernama Djamil.
Ia adalah anak seorang imam lokal. Ia gagal dalam babak penyisihan, namun keluarganya tetap memberinya dukungan. Bahkan kisahnya dijadikan teladan bagi saudara-saudara yang lain, untuk tetap semangat menghafal Al-Quran supaya bisa dikirim sebagai wakil ke Mesir.
Peserta dari Maladewa adalah seorang bocah perempuan bernama Rifdha.
Ia merupakan anak yang berprestasi di sekolah dan mempunyai cita-cita untuk mencapai pendidikan yang tinggi. Ia berhasil masuk ke babak final dan mendapat juara kedua. Ibunya menginginkan agar esok ia menjadi wanita karir, sementara ayahnya memiliki pandangan yang lebih konservatif.
Peserta dari Tajikistan adalah bocah laki-laki bernama Nabiollah.
Kisah bocah ini adalah yang paling menarik buat saya. Tajikistan adalah sebuah negara pecahan Uni Soviet di Asia Tengah. Ia berasal dari pedesaan yang jauh dari kota besar. Ia belajar menghafal A-Qur’an dari seorang ustadz di sebuah madrasah.
Suaranya saat membaca Al-Qur’an amat indah dan memukau juri lomba. Mereka menjadi teringat pada qari’ ternama Mesir, yakni Syekh Abdul Basith Abdus Somad. Namun, ada hal yang mereka sayangkan. Meski hafal Al-Qur’an dengan baik, bacaan Nabiollah banyak kesalahan dari sisi tajwid. Rupanya memang terdapat kekurangan dalam pengajaran yang ia peroleh selama ini, yakni tanpa ilmu tajwid.
Menjelang keberangkatan ke Kairo, madrasah tempat Nabiollah belajar ditutup oleh pemerintah sekuler Tajikistan. Sekolah-sekolah di pedesaan dengan pengajar tunggal dianggap berpotensi menyebarkan paham Islam ektrimis. Ayah Nabiollah kemudian mendaftarkannya ke sekolah di ibukota. Setelah dievaluasi, ternyata selama ini madrasah Nabiollah hanya mengajarkan bacaan dan hafalan Al-Qur’an dan tidak memberikan ilmu-ilmu umum. Hal ini menyebabkan Nabiollah yang sudah berusia 10 tahun, belum bisa baca-tulis.
Dari film ini, pelajaran yang saya ambil adalah… kecintaan terhadap Al-Qur’an harus ditanamkan sejak dini. Potret pendidikan yang belum merata di negara-negara lain, membuat saya bersyukur karena pendidikan di Indonesia lebih baik dan lebih terjangkau.
Aku sudah lama punya buku “HITMAN – Memoar Seorang Produser Musik Legendaris” namun baru belakangan ini nyempetin untuk mbaca. Buku-buku tentang musik atau musisi termasuk . . .
Pernahkah kamu membaca Terms and Conditions saat hendak memasang aplikasi? Saya rasa hampir ga ada yang mau mbaca, kecuali orang yang sedang iseng. Apalagi kalau . . .