Ini merupakan kisah Kiai Saifuddin Zuhri terkait kebijakan Presiden Soekarno yang lebih memilih merampungkan pembangunan Monumen Nasional (Monas) daripada Masjid Istiqlal. Saat itu, sebagai Menteri Agama, Kiai Saifuddin Zuhri menginginkan atas selesainya pembangunan Istiqlal yang telah dirintis menteri agama sebelumnya, KH. Wahid Hasyim dan tiang pertamanya sudah dimulai di era Menteri Agama, KH. M. Ilyas.
“Mengapa Bapak tidak menyelesaikan pembangunan Masjid Istiqlal?” tanya Kiai Saifuddin Zuhri kepada Presiden Soekarno.
“Karena saya tidak cukup duit,” jawab Presiden Soekarno. “Kalau ada ini (Bung Karno merekatkan jari telunjuk dan ibu jari yang mempunyai arti: uang), saya akan selesaikan kedua-duanya sekaligus,” jawabnya dengan nada serius.
“Ya, tapi kenapa Bapak lebih mendahulukan Monas?” tanya Kiai Saifuddin Zuhri dengan penuh penasaran.
“Begini. Saya sudah tua. Kalau Allah Swt. menakdirkan saya mati, padahal Monas belum selesai, orang sepeninggalku belum tentu menyelesaikannya. Namun, kalau Masjid Istiqlal yang belum selesai, mereka akan menyelesaikannya. Insyaallah Subhanahu wa Ta’ala,” jawab Presiden Soekarno sambil menundukkan kepalanya yang mengundang haru.
“Oh ya, apa saudara tahu tempat yang sekarang didirikan Masjid Istiqlal itu dulunya tempat apa?” tanya Presiden Soekarno kepada Kiai Saifuddin Zuhri dan orang-orang di sekelilingnya.
“Benteng VOC,” jawab Kiai Saifuddin Zuhri singkat.
“Hahaha… Pelajari sejarah yang benar!” tepis Presiden Soekarno. “Dulu di sana ada satu masjid. VOC datang menduduki Jakarta, masjid itu dirobohkan. (Di tempat bekas masjid itu) mereka kemudian mendirikan benteng yang kuat. Itu sebabnya, di depannya, beberapa tahun kemudian didirikan katedral, sebuah gereja besar tempat kediaman uskup,” jawab Presiden Soekarno sembari mengenang.
Bung Karno melanjutkan, “Indonesia lalu merdeka. Bekas Benteng VOC itu, lalu saya robohkan. Di atasnya kemudian saya dirikan Masjid Istiqlal. Hebat tidak presidenmu?” pungkas Bung Karno sambil membusungkan dada.
“Yaaa, iya, iya… Kalau tidak hebat, mana mungkin jadi presiden!” jawab orang-orang di sekelilingnya sambil tertawa.
Disadur dari buku “Ketawa Ambyar Ala Santri” karya Muhammad Muhibbuddin
Bung Karno boleh berkehendak, sedangkan Fatmawati boleh menolak, tapi Tuhan adalah Sang Mutlak. Takdir pun digoreskan sejak dulu yang mengatakan bahwa keduanya akan dipertemukan kembali . . .
Apa yang ditanyakan Kaisar Hirohito di Jepang setelah kekalahan mereka dalam Perang Dunia II telah sering dikutip dan diceritakan kembali. Konon, setelah Nagasaki dan Hiroshima . . .