Artikel ini berasal dari majalah Mediakarya No. 54 bulan September 1988 yang masih relevan sampai saat ini.
Bagi masyarakat pewayangan, Petruk Dadi Ratu merupakan sebuah lakon yang unik, tetapi banyak dikenal, dan hanya tokoh Petruk lah dari para Punakawan yang terdiri dari Kyai Semar, Gareng, Petruk, Bagong, yang pernah menduduki kedudukan terhormat ini, ialah menjadi Raja. Berbicara tentang Petruk Dadi Ratu, selalu ada jurusan kepada sebuah sindiran atau satire, cemoohan, karena Petruk yang asal usulnya dari seorang Punakawan atau bila diterjemahkan secara umum adalah rakyat jelata, kok menjadi raja. Di sini lah letak uniknya, bahwa seorang rakyat menduduki suatu kedudukan tinggi. Hal demikian memang langka, bila kita berbicara tentang sistim pemerintahan yang sifatnya monarki. Ini tentu saja menggambarkan masyarakat republik berdiri, atau sebelum para demokrat memperjuangkan demokrasi. Namun demikian, sindiran klasik ini selalu dapat diterapkan, bahkan menjadi alat kritik yang paling manjur, tanpa menyinggung perasaan ataupun menyakitkan yang dikritik.
Adalah merupakan suatu kebetulan, bahwa Petruk saja yang pernah menjadi raja, sehingga tokoh Petruk yang mewakili rakyat banyak ini, menganggap adalah hak patennya bila berbicara tentang penyampaian kehendak rakyat. Petruk, yang anaknya Kyai Semar itu bersosok tinggi, langsing, bermuka manis, dengan senyum yang senantiasa menarik hati, serta pandai berbicara dengan humor-humornya. Dia pernah menjadi Raja di negeri Ngrancangkencana dan bergelar Helgeduelbek. Kesaktiannya sehingga dapat menjadi raja, dia peroleh karena melarikan surat Kalimahusada (dalam bahasa kerap disebut Jimat Kalimosodo), Pusaka milik Pandawa.
Tak seorang pun dapat mengalahkannya, bahkan tidak juga Dewa, karena memegang Kalimahusada kesaktiannya tiada bandingnya. Tetapi, karena dia ini saudara muda Kala Gareng, anak Kyai Semar yang sulung, maka dia takut kepadanya. Karena bujukan sang kakak, kendati secara fisik Gareng tidak meyakinkan, tetapi sebagai saudara tua, dia memiliki kharisma tertentu, sehingga Petruk kalah di hadapannya. Tokoh Petruk, bersama Semar, Gareng dan Bagong selalu bersama-sama, disebut punakawan atau penderek (pelayan, tetapi yang bertugas mengasuh) dari Pandawa. Yang paling banyak dipunakawani adalah sang penengah Pandawa, Raden Arjuna.
Bila Petruk Dadi Ratu, maka ada beberapa aspek yang masuk di dalam kritik yang disampaikan di sana. Petruk sendiri, yang mewakili tokoh rakyat jelata, bila mendapat kedudukan yang sedemikian tingginya (Raja), kadang-kadang menjadi seorang OKB (Orang Kaya Baru) atau feodal gaya baru. Gelar yang dipakainya bisa saja satu meter panjangnya. Pernah misalnya di dalam lakon Petruk Dadi Ratu, gelarnya sang Prabu Helgeduelbek, Kantong Bolong, Tong Tong Sot, Troruk, Tritik, Dung Pyeng… Apapun artinya, itu tidak perlu, yang penting, dia bisa berbuat apa-apa, karena dia ini adalah Raja.
Kritik yang terselip di situ justru adalah terhadap bawahan yang mendapat kedudukan tinggi, terus kena mental shock. Maka, Petruk pun berkelakuan aneh-aneh. Selirnya banyak sekali, memiliki Patih yang diberi gelar Patih Joyo Setliko (mustinya Joko Sentiko, tetapi dikelirukan menjadi setliko karena setliko artinya setrika). Dan dalam suasana begini, sang Patih harus tunduk, karena Raja berkekuatan absolut.
Maka, dalam lakon Petruk Dadi Ratu, biasanya dialog-dialog penuh dengan humor karena kelakuan Petruk yang eksentrik karena mental shock tadi. Sebaliknya, para Pangeran, bangsawan yang memiliki kerajaan seperti Amerta, Hastina, sementara terpaksa tunduk serta prihatin, karena mau tidak mau sang Petruk memegang surat wasiat yang tiada tara nilainya bagi sebuah kekuasaan atau pemerintahan.
Dari aspek lain, dapat juga untuk sebuah satire, bahwa seorang punakawan atau rakyat, toh memiliki hak, sebagai manusia, untuk suatu kali berada di tempat yang penting. Hal ini tentu saja dapat diterapkan pada suatu tempat yang sifatnya demokratis, dengan mengenyampingkan, atau menghapus feodalisme.
Dalam banyak hal, tokoh Petruk, kerap kali menjadi semacam juru bicara bagi thema pagelaran. Segala sesuatunya yang berupa pesan titipan atau penjelasan-penjelasan kepada khalayak, maka Petruk lah yang berbicara. Bahkan, di dalam hal entertainment atau selingan hiburan yang disuguhkan dalam setiap pagelaran di dalam acara yang namanya Goro-Goro. Maka Petruk lah yang berfungsi sebagai penyampai kepada khalayak atau penonton, atau di dalam menentukan gending-gending apa yang akan disuguhkan di dalam pagelaran itu, beserta penjelasan-penjelasannya.
Petruk Dadi Ratu bahkan merupakan pameo bagi seseorang, atau siapa saja yang naik derajatnya, dan terus mengadakan tindakan sewenang-wenang, meski dikamuflir dengan senyuman-senyuman khas Petruk, karena memang senyuman manis itu dimiliki Petruk secara alamiah. Di dalam kehidupan sehari-hari, sikap Petruk yang demikian itu disindirkan kepada orang yang mendapatkan derajat lebih tinggi atau memiliki kekayaan yang lebih, bersikap flamboyant, lupa kepada asal-usulnya, biasanya ada kecenderungan sombong, sewenang-wenang, sok bermacam-macam.
Seorang pakar di dalam pewayangan, di ruang tamu utamanya memasang dua buah wayang yang dilist dengan indahnya di atas kain beludru, tokoh Puntadewa, raja Amerta, dan Petruk, Raja Kantong Bolong. Seperti peraturan di dalam pewayangan, peletakan pada kelir, maka di sebelah kanan dalang atau khalayak, adalah tempatnya tokoh-tokoh yang lebih diunggulkan serta yang lebih baik. Sedangkan di sebelah kiri, adalah tokoh kelas dua.
Di ruang tamu pakar wayang tersebut, Petruk Kantong Bolong dihadapkan dengan Puntadewa, dan Petruk menempati sebelah kanan, sedang Puntadewa sebelah kiri. Ketika ditanyakan kepadanya, mengapa, termasuk pertanyaan yang dilontarkan beberapa diplomat asing yang berkunjung ke rumahnya, maka jawabnya “Petruk kini sedang menjadi Ratu, jadi layaknya dia menempati sebelah kanan. Sedangkan Puntadewa sementara biar di sebelah kiri, karena demokrasi adalah untuk rakyat.”
Pada postingan ini saya ingin berbagi pengantar pada buku “DPR Uncensored” karya Dati Fatimah & Mail Sukribo (cetakan kedua, Januari 2009). Saya merasa tulisan ini . . .


