Warga Kampung Naga memiliki keunikan dalam praktek kehidupannya. Hal ini saya ketahui dari artikel pada Majalah Gatra edisi khusus lebaran 2008. Berikut sadurannya…
Menurut kepercayaan, warga Kampung Naga adalah keturunan Kerajaan Galunggung Islam. Mereka keturunan Eyang Singaparna, anak bungsu Prabu Rajadipuntang, Raja Galunggung ke-7.
Kerajaan Galunggung diserbu Pajajaran pada 1520-an. Penyebabnya, penduduk Kerajaan Galunggung memeluk agama Islam sehingga Raja Pajajaran pada saat itu, Prabu Surawisesa, menganggap Galunggung memberontak. Menghadapi serbuan itu, Prabu Rajadipuntang menyerahkan seluruh harta pusaka kerajaan kepada Singaparna, yang kemudian lari bersembunyi.
Diperkirakan, tempat persembunyiannya ada di wilayah Kampung Naga sekarang ini. Namun orang Kampung Naga sendiri mengaku tidak tahu-menahu sejarah awal keberadaan mereka, selain kepercayaan bahwa mereka adalah keturunan Eyang Singaparna. Pusaka dan catatan sejarah peninggalan Eyang Singaparna, yang disimpan di Bumi Ageung—rumah besar tempat penyimpanan pusaka—musnah terbakar ketika kampung itu diserang pasukan DI/TII pada 1956.
Pada waktu itu rumah penduduk, lumbung padi, Bumi Ageung dan harta benda milik warga ludes dibakar. Warga kampung mengungsi ke wilayah lain. Serangan itu terjadi lantaran penduduk Kampung Naga dianggap menjalankan tradisi sesat.
Warga Kampung Naga mengaku menjalankan tradisi Islam ahlusunah waljamaah. Mereka memadukan ajaran Islam dengan tradisi Islam Sunda yang unik.
Politik dan Poligami
Meskipun hidup sederhana namun saya mengagumi cara pandang warga Kampung Naga yang penuh kesantunan dan kearifan.
Falsafah hidup mereka adalah larangan untuk ngawadul, ngadu, ngamadat dan ngawadon. Ngawadul artinya berbohong. Ngadu bermakna mengadu domba atau menghasut sedangkan ngamadat adalah memakai zat-zat yang memabukkan. Ngawadon maknanya main perempuan.
Masyarakat Kampung Naga percaya bahwa politik mengandung perilaku-perilaku yang dilarang itu. Menurut Ateng Djaelani—seorang lebai atau pemuka agama Kampung Naga—orang berpolitik biasanya selalu besar mulut, banyak berjanji dan tidak pernah menepati. “Itu sama saja dengan ngawadul,” tuturnya. Apalagi dalam berpolitik, orang sering mengadu domba kelompok demi mencapai tujuan. Ini bertentangan dengan larangan ngadu.
Tidak ada poster, pamflet dan kegiatan kampanye di sana. Namun sebagai bentuk kepatuhan kepada negara, warga Kampung Naga tetap ikut pemilu nasional. Syaratnya, pencoblosan dilakukan di luar area Kampung Naga.
Masyarakat Kampung Naga juga menabukan poligami. Larangan berpoligami dasarnya adalah ajaran warga Kampung Naga untuk tidak menyakiti orang lain. Soalnya dalam poligami, kata Ateng, tentu istri pertama akan menjadi pihak yang disakiti. “Kita tidak pernah tahu isi hati seseorag,” kata Ateng. Bisa saja di mulut istri menyatakan persetujuan tapi di dalam hati sebenarnya menangis.
Karena itu, semua warga Kampung Naga seperti diwajibkan setia memiliki satu istri saja. “Menikah lagi baru diperkenankan jika istri pertama meninggal,” ujar Ateng.
Putri dari seorang permaisuri sudah pasti mendapat strata yang lebih tinggi dibandingkan putri-putri lainnya, bahkan yang sepantaran sekalipun tetapi lahir dari istri selir. Dalam bahasa . . .
Dilihat dari bentangan sejarahnya, etnik Sunda dicatat sebagai suku yang terlalu lama dan sering dijajah. Sebagaimana diungkap sejarawan, yang pernah menjajah Sunda adalah Portugis, Inggris, . . .