Fan Xuan adalah seorang filsuf, sekaligus pelukis ternama pada masa Dinasti Jin Timur (317-420). Ketika masih kecil, tampangnya menarik dan pembawaannya baik. Setiap orang yang melihatnya pasti menyukainya.
Konon, sejak kecil ia patuh dan rajin membantu orang tua. Dengan disiplin, tiap pulang sekolah, dia menaruh tas di tempat semestinya, cuci tangan sebelum makan, tidak pernah tidur larut, dan tak pernah bangun kesiangan, tak pernah merengek dibelikan ini itu. Bila mendapatkan makanan, entah dari mana, pasti dia bagi dengan bapak ibunya. Ketika ada masalah, ia juga selalu menceritakan kepada bapak ibunya.
Pada suatu hari, sepulang dari sekolah, usai makan, Fan Xuan bermain bersama teman-temannya di rumah tetangga. Bersama teman-temannya, dengan riang Fan Xuan bermain lompat tali, patok lele, kelereng, dan sebagainya. Lalu, seorang anak mengusulkan main lomba panjat tiang rumah. Usul itu langsung diterima teman-teman lainnya. Tapi Fan Xuan bilang, “Aku tak ikut! Aku pulang!”
Tindakan Fan Xuan menuai suara gaduh dan ejekan dari teman-temannya. Mereka ramai-ramai berteriak, “Fan Xuan penakut! Fan Xuan pengecut!”
Fan Xuan hanya diam membisu dan tak menghiraukan ejekan teman-temannya. Fan Xuan tahu bahwa bermain panjat tiang sangat berbahaya. Itu adalah adu cepat mencapai atas tiang. Silap sedikit saja, bisa-bisa jatuh.
Sesampainya di rumah, melihat ibunya sedang menggali tanah untuk memanen keladi, Fan Xuan segera menawarkan diri untuk menggantikan ibunya.
Sang ibu tersenyum senang karena punya anak rajin. Sembari menyerahkan pisau, ia berpesan, “Pisau ini sangat tajam, hati-hati!”
Fan Xuan pun fokus menggali memanen keladi. Tiba-tiba dari lubang galian muncul seekor kumbang kecil. Fan Xuan menangkap dan meletakkannya di telapak tangan. Dengan ujung pisau, ia mengilik-ilik si kumbang.
Karena teledor, ujung pisau yang tajam melukai telapak tangannya dan keluar darah. Fan Xuan menangis kesakitan.
Kebetulan, lewatlah seorang kakek. Melihat ada anak menangis, si kakek menghampiri dan bertanya, “Ada apa, Fan Xuan? Kenapa menangis?”
Kepada si kakek, Fan Xuan mempelihatkan tangannya, “Tanganku luka.”
“Apakah lukanya parah?” tanya si kakek.
“Tidak parah. Aku menangis bukan karena tangan terluka, tapi karena orang tuaku pasti sedih karenanya.”
Si kakek mengangguk dan dengan simpati berkata, “Begitu rupanya. Tak diduga, kamu kecil-kecil tahu prinsip dasar berbakti, apalagi langsung mendapatkan pengalaman dari diri sendiri. Kamu betul-betul seorang anak yang hebat. Berbeda dengan anak-anak yang suka berkelahi dan membuat onar, dikit-dikit main pukul, sering melukai diri sendiri. Sukanya cari gara-gara membuat keonaran. Mereka pantas belajar darimu.”
Mendengar kata-kata seperti itu, anak muda ini tumbuh dewasa dengan amat bijaksana. Fan Xuan mempelajari ajaran-ajaran klasik para filsuf. Ia amat menyerap pandangan filsuf besar pada masa musim semi dan musim gugur (770-476 SM), yakni Zeng Zi yang penah mengatakan bahwa langkah awal berbakti adalah melindungi diri sendiri. Karena orangtua melahirkan dan merawat kita dari bayi hingga tumbuh besar, menjaga jiwa raga berarti menjaga sekaligus menghormati upaya orang tua.
Sumber: buku “Bakti yang Melegenda” oleh Jusra Chandra
Pernah tau sedikit tentang The Marshmellow Test, dan tertarik lebih jauh. Rupanya ada buku tentang ini dan Anies Baswedan pernah mengulas dalam kanal Youtube-nya. Konsep . . .
Kali ini kita belajar istilah Jawa dari buku “Pitutur Luhur Budaya Jawa“ Kere munggah bale kalau diterjemahkan berarti pembantu yang dijadikan istri oleh tuan atau . . .


