Saya baru saja beli buku “Adat Istiadat Sunda” karya R.H. Hasan Mustapa secara online. Meskipun lama kuliah di Bandung (2002 s.d. 2009) namun saya tidak terlalu mengenal budaya Sunda. Nama beliau sering saya dengar karena diabadikan menjadi salah satu nama jalan di Bandung. Namun saya tidak kenal sosoknya, dan baru kali ini baca buku karyanya.
Di bawah ini saya nukilkan beberapa paragraf dari buku tersebut, khususnya pada Pasal 6 Adat Menikah:
Ada lagi adat yang lebih kuat daripada rukun Islam yang lima, biar rukun islam yang lima tidak dilakukan, mungkin masih ada maaf, tetapi sebagai manusia normal, yaitu laki-laki dengan perempuan kalau mau bercampur harus menikah dahulu. Lebih lagi bujang dengan perawan, menjadi bahan pikiran orangtuanya, sekalipun duda dan janda, tidak akan disebut “orang baik” kalau bercampur tanpa menikah. Sehingga menjadi bahasa perempuan yang tidak mau dipermainkan laki-laki, katanya: “Tidak mau dipermainkan, sebelum pergi ke bale nyungcung (mesjid tempat mengawinkan).” Atau mengajukan syarat bahwa saya bersedia kalau sudah dipegang ibu jari, artinya sudah dikawinkan Hatib, Modin, Merebot, atau Penghulu. Oleh karena kebiasaan orang yang mengawinkan.
….
Adat kawin yang sekian banyaknya aturan, dan kerugian yang sedemikian besarnya, hanya dilakukan untuk satu kali saja, jejaka dengan perawan. Selain dari itu janda dengan duda, atau jejaka dengan janda, atau orang tidak mampu, tidak kuat mengikuti adat yang berat, mudah saja semuanya hanya untuk sekedar diketahui umum bahwa telah menikah dan mengadakan selamatan ke Mesjid. Andaikata orang itu sangat tidak mampu, asal cukup untuk membeli sirih, memecahkan telur dan kendi di pelimbahan, pengantin perempuan cukup disanggul, dibedak, didandani memakai pakaian baru, demikian pula laki-lakinya cukup dengan diganti pakaian yang baru, biasanya perempuan diberi pakaian dari orang tua laki-laki, dan laki-laki dari orang tua perempuan.
Yang menyumbang sesuatu dari famili laki-laki pada umumnya berupa pakaian untuk perempuan, dan dari famili perempuan pakaian untuk laki-laki.
Demikian pula selametan menumbas, mengadakan kunjungan kepada mertua hanya sekedar mempraktekkan adat tata cara desa, agar tidak menjadi celaan orang.
Ada lagi cara kawin yang enteng, yaitu bila dikawin untuk menjadi selir, dikawin oleh orang merantau, atau kawin terpaksa, misalnya menikah karena perempuannya sudah hamil, atau kawin sebagai syarat karena dilangkahi kawin oleh adiknya, yaitu laki-lakinya mempunyai adik yang akan dikawinkan, terpaksa ditarik janji oleh pihak perempuan walaupun tidak hamil karena sudah terlalu lama bertunangan. Semua itu bisa dilakukan dengan mudah saja, asal memenuhi tradisi desa “hanya untuk seketika itu saja, biar kawin siang, putus sore”. Ada lagi cara agama, yang disebut kawin penyelang, karena perempuannya sudah tiga kali dijatuhi talak dari suaminya, tidak boleh kembali lagi kawin, kecuali sudah diselang dulu kawin dengan orang lain, dan melakukan persetubuhan, lalu diceraikan, baru setelah itu boleh dikawin lagi jandanya secara diam-diam, karena dirahasiakan. Demikian pula untuk menjadi selir, golongan priyayi kawin dengan orang biasa, ini pun tidak dipestakan karena dirahasiakan.
Setelah selesai urusan kawin, tidak boleh tidak orang tua harus menurut adat; setelah itu baru selametan sesuai dengan adat kebiasaan umumnya; menurut tata cara adat desa. Ditambah pula dengan peraturan guru ratu wong atua karo yaitu harus menghormati guru, pemimpin, dan orang tua, mertua dan saudara sulung. Menurut adat istiadat yang sesuai dengan peribahasa yang berasal dari bahasa Jawa “wong tua kang ngawiti, wong anom derma lakoni” (orang tua yang memulai, orang muda yang menjalani).
Pengantin itu dimandikan oleh ibunya, diberkahi oleh kakeknya, sekarang ia harus menjadi orang tua, dan akan menemui kesusahan seperti orang tua, harus mengalami hamil, melahirkan, khitanan, dan mengawinkan, sebagaimana orang tuanya dulu.
Pernah tau sedikit tentang The Marshmellow Test, dan tertarik lebih jauh. Rupanya ada buku tentang ini dan Anies Baswedan pernah mengulas dalam kanal Youtube-nya. Konsep . . .
Kali ini kita belajar istilah Jawa dari buku “Pitutur Luhur Budaya Jawa“ Kere munggah bale kalau diterjemahkan berarti pembantu yang dijadikan istri oleh tuan atau . . .


