Pembantaian terhadap orang Tionghoa pada awal Perang Jawa, telah menimbulkan kekecewaan dan prasangka yang mendalam pada diri orang-orang Tionghoa terhadap orang Jawa. Sikap takut dan curiga orang-orang Tionghoa ini dibalas dengan sikap yang sama oleh orang-orang Jawa. Pangeran Diponegoro juga bersikap sama dengan melarang para komandannya melakukan hubungan yang akrab dengan orang-orang Tionghoa. Ia juga melarang mereka mengambil gadis-gadis peranakan menjadi gundiknya, karena ia berpendapat bahwa hubungan dengan gadis-gadis Tionghoa hanya akan membawa sial dan malapetaka.
Sikap Diponegoro ini disebabkan oleh pengalamannya sendiri ketika mengalami kekalahan pertempuran di Gowok, di luar Surakarta pada 15 Oktober 1826. Sesuai dengan apa yang ditulisnya sendiri di dalam Babad Dipanagara, ia terjebak dan “dihancurkan” oleh kecantikan seorang gadis Tionghoa yang tertangkap di daerah Pajang dan kemudian dijadikan tukang pijatnya. Demikian juga ia menyalahkan kekalahan iparnya Sasradilaga, dalam pertempuran di pesisir utara, di daerah Lasem karena melanggar perintahnya dengan menggauli seorang perempuan Tionghoa di Lasem.
Kenyataan bahwa banyak dari komandan-komandan pasukannya yang menggauli gadis-gadis Tionghoa sebagai hiburan dan banyaknya penggunaan candu di antara prajuritnya, telah menimbulkan anggapan Pangeran Diponegoro bahwa kalahnya dia dalam pertempuran dengan Belanda disebabkan oleh orang-orang Tionghoa yang telah membawa sial dan malapetaka.
Sumber:
- buku “Tionghoa dalam Pusaran Politik” karya Benny G. Setiono
- Foto
Selama Sutawijaya bertahta, terjadi konflik antara dirinya dengan Ki Ageng Mangir Wanabaya akibat perebutan kekuasaan. Kemudian, atas usul Ki Juru Mertani, Panembahan Senopati melakukan taktik . . .


